JAKARTA –
Tigabelasdetik.com .-
Penangkapan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membuat dan mengunggah meme tak senonoh Presiden Prabowo Subianto dan Presiden RI Ketujuh Joko Widodo, SSS, memicu reaksi beragam. SSS ditangkap beberapa hari lalu dan dijerat dengan pasal berlapis Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mendesak pihak kepolisian segera melepaskan SSS. Menurut dia, penangkapan itu bertentangan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru. Putusan itu menyatakan bahwa keributan di media sosial bukan tindak pidana.
Sementara, penangkapan SSS merupakan praktik otoriter dan menabrak kebebasan berekspresi di ruang siber. “Negara tidak seharusnya anti-kritik. Sebaliknya, hukum seharusnya tidak digunakan untuk menekan suara masyarakat,” kata Usman, Sabtu (10/5/2025).
Usman menegaskan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hingga ketentuan hak asasi manusia (HAM) di hukum internasional mengakui kebebasan berpendapat.
Meski kebebasan tersebut bisa dibatasi untuk melindungi nama baik orang lain, standar HAM internasional meminta pembatasan tidak dilakukan dengan pidana. Di sisi lain, menurut dia, lembaga negara seperti presiden tidak harus mendapat perlindungan hukum menyangkut reputasi mereka. “Kriminalisasi terhadap ekspresi semacam ini akan menciptakan suasana ketakutan di masyarakat dan merupakan taktik kejam untuk menekan kritik,” ujar Usman.
Kepala Kantor Komunikasi Presiden atau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi menyebut, Presiden Prabowo tidak pernah melaporkan pemberitaan hingga ekspresi masyarakat yang menyudutkannya.
Meski demikian, Hasan menyayangkan SSS membuat dan mengunggah meme tidak senonoh itu. “Walaupun kita menyayangkan, kalau menyayangkan tentu, karena ruang ekspresi itu kan harus diisi dengan hal-hal yang bertanggung jawab, bukan dengan hal-hal yang menjurus kepada mungkin penghinaan atau kebencian,” kata Hasan. “Tapi, tetap saja, kalau Bapak Presiden sampai hari ini kan tidak pernah melaporkan, tidak pernah melaporkan pemberitaan, tidak pernah melaporkan ekspresi-ekspresi yang menyudutkan beliau,” imbuh dia.
Menurut Hasan, alih-alih membawa peristiwa tertentu ke ranah pidana, Prabowo lebih banyak membicarakan persatuan bangsa. Lebih lanjut, ia menyerahkan kasus ini sepenuhnya kepada pihak kepolisian.
Namun, ia berpendapat sebaiknya pelajar itu dibina. “Ya, kalau ada pasal-pasalnya kita serahkan ke polisi, tapi kalau dari pemerintah, itu kalau anak muda ya mungkin ada semangat-semangat yang telanjur, ya mungkin lebih baik dibina, ya, karena masih sangat muda, bisa dibina bukan dihukum gitu,” ujar Hasan.
Sementara itu, pihak orang tua SSS sudah datang ke ITB dan menyampaikan permintaan maaf. Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Nurlaela Arie, mengatakan, pasca-SSS ditangkap, ITB dan berbagai pihak lain aktif berkoordinasi dan bekerja sama. “Pihak orangtua dari mahasiswi sudah datang ke ITB (Jumat, 9 Mei 2025), dan menyatakan permintaan maaf,” kata Nurlaela, Sabtu.
Terpisah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) meminta ITB mendampingi SSS dari sisi psikologis dan hukum. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemdiktisaintek Togar Mangihut Simatupang mengatakan, ITB juga bisa memfasilitasi untuk penyampaian permintaan maaf. Togar juga mendorong ITB mengajukan penundaan penahanan kepada Polri. “Di samping pendampingan yang telah diberikan, ada baiknya pihak kampus mengambil langkah permohonan penundaan penahanan,” kata Togar.
Sumber Berita :






